Dari Batang Palupuh, sekitar jam 11:30 kami masuk kembali ke kota Bukittinggi, dan mampir ke rumah kelahiran Bung Hatta. Rumah tua ini sudah direnovasi sehingga terlihat makin cantik dan kokoh. Sebagian perabotnya masih perabot kuno peninggalan rumah lama, namun untuk barang-barang ringkih seperti piring, gelas, sprei, kelambu, dsb sudah merupakan replika. Masuk ke sini tidak dikenakan biaya, tapi boleh minta staf museum untuk menjadi guide dengan imbalan seikhlasnya.
Bung Hatta lahir dari keluarga alim ulama, sehingga masa kecilnya bisa dibilang berkecukupan. Beliau memiliki kamar pribadi tempat beristirahat, namun tidak jarang menghabiskan waktu bahkan tidur di surau. Dulunya, keluarga Bung Hatta memiliki belasan ekor kuda yang digunakan sebagai alat transportasi untuk mengantar surat & paket. Saya baru tahu ternyata Bung Hatta pernah berjanji tidak akan menikah sampai Indonesia merdeka. Setelah merdeka, baru Bung Karno menjodohkan Bung Hatta dengan gadis cantik bernama Rahmi, yang usianya terpaut 24 tahun. Tak lama mereka menikah dan dikaruniai 3 putri cantik: Meutia, Gemala, dan Halida. Bung Hatta meninggal pada tahun 1980, sementara Ibu Rahmi tahun 1999.
Sebelum jam 1 siang kami meninggalkan Rumah Kelahiran Bung Hatta, biar cukup waktu untuk beberas sebelum check out jam 2. Tujuan berikutnya adalah Pasar Ateh (atas), tepat di belakang Jam Gadang. Kami beli gorengan kecil isi ikan dan jagung, macam-macam suvenir, serta nyobain Ampiang Dadiah. Kunci nawar suvenir di sini adalah di bawah separuh harga, soalnya nanti harga akhirnya untuk suvenir murah (<50rb) rata-rata 50% dari harga penawaran awal. Oh iya, Lilies juga beli mukena sulam sutra yang super cantik, tapi tentu harganya ngga bisa ditawar banyak, hehehehe. Ada Pasar Atas, tentu ada Pasar Bawah, dan keduanya dihubungkan oleh Janjang (tangga) 40 ini.
Puas belanja dan jajan-jajan, kami lanjut jalan kaki ke Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan atau disebut juga Kebun Binatang (KB) Bukittinggi. Jam sudah menunjukkan pukul 3:30 sore, tapi KB masih rameee. Tiket masuknya 8rb, sudah termasuk 3 obyek wisata yakni Kebun Binatang, Jembatan Limpapeh, dan benteng Fort de Kock. Lumayan kan?
KB-nya mungil tapi unik dengan sentuhan bangunan khas Minang. Tapi sedihnya, banyak hewan yang seperti kurang terawat, tanpa pasangan, bahkan Harimau Sumatera di sana kaki depannya buntung *nangis*. Kami terlalu sedih untuk berlama-lama di situ, jadi buru-buru lanjut ke Jembatan Limpapeh. Jembatan ini menghubungkan KB dengan benteng, harus didatengi deh soalnya view dari atasnya cantik.
Di sisi lainnya ada benteng Fort de Kock. FdK sendiri adalah nama lama kota Bukittinggi, yang dulunya memang kubu pertahanan Belanda pada masa Perang Padri. Saya sebenarnya sudah wanti-wanti ke teman-teman lainnya bahwa benteng FdK tidak seperti benteng yang biasa kita bayangkan. Tetap sih, begitu sampai ya kaget juga, hahahaha. Tidak ada bangunan berbentuk benteng, yang ada hanya reservoir milik PDAM, lengkap dengan lantai keramik, hehehe.
Kawasan Benteng Fort de Kock menjadi tempat terakhir di Bukittinggi yang kami kunjungi. Selanjutnya kami makan sore dengan Itik Lado Mudo (cabe hijau) di Ngarai Sianok, dan melanjutkan perjalanan ke Lembah Harau.
Photo set Bukittinggi bagian 2
https://www.flickr.com/photos/41912023@N07/sets/72157633970098582/
Photo set Bukittinggi (kunjungan pertama saya, thn 2008)
https://www.flickr.com/photos/41912023@N07/sets/72157634294120957/
Info saya ambil dari The Aroengbinang Travelog
Rumah Kelahiran Bung Hatta
Jl. Sukarno – Hatta No. 37
Bukittinggi, Sumatera Barat
Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan
Jalan Cindua Mato, Pasar Atas
Bukittinggi, Sumatera Barat
Jembatan Limpapeh
Jl. Ahmad Yani
Bukittinggi, Sumatera Barat
GPS: -0.30082, 100.36864
Benteng Fort de Kock
Bukit Jirek
Bukittinggi, Sumatera Barat
GPS: -0.300427,100.367580
2 thoughts on “Bukittinggi (bagian 2): Wisata Sejarah”